Wednesday, November 23, 2016

Penderitaan Buruh Migran Indonesia Yang Dilacurkan Di Luar Negeri


Berita BMI - Penyintas perdagangan manusia punya segudang pengalaman pahit. Memey Rochtriyati, penyintas itu, kini menjadi pegiat HIV/AIDS.

Ia mampu beranjak dari keterpurukan setelah menjadi korban perdagangan manusia. Dua kali dia dieksploitasi.

Ia buruh migran yang dipaksa menjadi pekerja seks di Kuching, Malaysia tahun 2012. Dia direkrut seorang calo asal Magelang.

Calo memanfaatkan keluguan Memey yang hanya lulusan sekolah dasar. Tahun 2011, Memey yang berumur 17 tahun mengadu nasib ke Singapura.

Paspor dan dokumen lainnya dipalsukan calo.

“Umur dituakan itu praktek yang biasa terjadi di desa-desa,” kata Memey kepada Tempo pada pekan pertama Oktober 2016.

Bujuk rayu dan iming-iming menggiurkan masih terus berlangsung di Kabupaten Temanggung. Calo mendatangi calon buruh migran yang punya impian ke luar negeri untuk membiayai hidup keluarganya.

Hampir dua tahun Memey bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Singapura dan tidak digaji. Ia berganti-ganti majikan lalu dipulangkan oleh agen Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia.

Tapi, Memey tak ingat nama agen PJTKI itu. Dia hanya diberi uang saku Rp 500 ribu untuk pulang ke Indonesia.

Ia menuturkan calo buruh migran berkeliaran, memberikan iming-iming hidup enak dengan merantau ke negeri orang. Seorang calo penjual ikan asin di Pasar Secang menawari Memey berangkat ke Singapura dan Kuching, Malaysia.

Umur Memey 17 tahun sewaktu berangkat ke Singapura. Ia tak punya keterampilan.

Menurut Memey, Pasar Secang di Magelang menjadi lokasi berkumpulnya para calo buruh migran. Di sana, mereka bekerja membujuk korban-korban yang sedang kesulitan uang dan punya mimpi mengatasi kemiskinan dengan cara menjadi buruh migran.

Sedangkan seorang perekrut yang membawanya ke Entikong, kata Memey, telah dipenjara di Entikong dan ditebus oleh sindikatnya.

Sri, perekrut asal Magelang bertugas mengantar dan membayar ongkos tiket kapal laut Memey dari Pelabuhan Tanjung Mas Semarang menuju Entikong, tempat transit Memey sebelum ke Khucing.

Di Kuching, Memey dan perempuan lainnya ditempatkan di apartemen di pusat kota. Apartemen itu menurut Memey gampang dijangkau dan dekat dengan kedai kopi.

Pemilik apartemen itu mafia perdagangan manusia yang menurut dia punya banyak apartemen. Bos besar dengan logat Melayu itu menempatkan empat hingga enam penjaga dan mobil untuk menjemput korban trafficking di setiap apartemen. Korban dipaksa untuk menjadi pekerja seks.

“Kami diawasi ketat dan tak boleh ke luar apartemen,” kata Memey.

Ia mengatakan jaringan trafficking itu mendandani korban dengan membelikan baju dan segala perlengkapan di pusat perbelanjaan.

Lalu mereka dibawa ke salon.

Setelah itu, korban dibawa menuju restoran untuk diperkenalkan dengan laki-laki yang membayar sejumlah uang kepada bos besar.

Bos besar inilah yang menjadi muncikari. Memey tak ingat persis nama bos besar ini. Ia hanya ingat di tubuh bos besar itu banyak terdapat luka bakar. Memey dipaksa untuk berhubungan badan dengan bos besar itu. [tempo]

0 comments

Post a Comment