Saturday, November 12, 2016

Kasus Supriyanto TKI Bekerja Sebagai ABK Yang Tewas di Kapal Ikan Taiwan Dibuka Kembali

kasus+kematian+tki+abk+kapal+taiwan

Kasus Kematian TKI ABK Taiwan - Pemerintah Taiwan akan membuka kembali penyelidikan terhadap kasus kematian Supriyanto setelah Badan Pengawas Pemerintah Taiwan, Control Yuan, melaporkan adanya kesalahan penanganan yang dilakukan Kementerian Perikanan Taiwan.

Laporan Control Yuan yang dikeluarkan 5 Oktober 2016 menyatakan bahwa kontrak Supriyanto penuh dengan persyaratan yang tidak adil, termasuk pengurangan gaji dan klausul yang menyatakan dia dapat dipindahkan ke kapal lain.

Supriyanto mendapat dua kontrak: 'Permohonan Persetujuan' dan 'Implementasi Aktual'.

Ada banyak persyaratan yang tidak masuk akal dalam kontrak yang terakhir disebutkan. Misalnya pemotongan gaji sebesar US$100 (Rp 1,3 juta) per bulan sebagai 'jaminan'.

Gaji para nelayan di kapal ikan Taiwan adalah sebesar US$300 - US$400 (Rp 3,9 - 5,2 juta) namun ada nelayan asing yang dibayar hanya sebesar US$50 (Rp650.000) per bulan.

Menurut Control Yuan, Kementerian Perikanan Taiwan harus bertanggung jawab karena tidak mengawasi agen penyuplai tenaga kerja.

Dalam kasus Supriyanto, mereka juga tidak melakukan penyelidikan secara layak dan mengawasi pemberian kompensasi yang sesuai.

Kasus Supriyanto menjadi perhatian media dan pemerintah Taiwan setelah sebuah video yang direkam dengan ponsel oleh kawan Supriyanto di kapal ikan asing itu tersebar.

Video itu memperlihatkan kondisi Supriyanto yang menyedihkan: kepalanya bocor, matanya merah akibat berdarah, kakinya lebam hingga susah berjalan. Empat bulan berlayar, Supriyanto tewas di kapal.

Jaksa penuntut Taiwan mengatakan kepada BBC bahwa Supriyanto meninggal akibat infeksi lutut dan tidak ada yang mencurigakan dalam kasus ini.

Menurut laporan Control Yuan, Supriyanto menuturkan kepada kapten bahwa kondisinya tidak baik pada akhir Agustus, namun kapten tidak mengusahakan perawatan medis apapun yang membuat lukanya infeksi dan akhirnya meninggal dunia.

"Selama penyelidikan dilakukan oleh jaksa dari Pengadilan Negeri Pingtung di Taiwan, akibat penerjemah tidak mengerti bahasa Jawa Tengah, mereka tidak memperhatikan lebam dan perlakuan tidak wajar dari almarhum dan jaksa tidak memperhitungkan penyebab dan waktu kematian, dan apakah kelalaian yang menyebabkan kematian dan apakah ada perbudakan atau kejahatan lain."

"Mereka (jaksa) menutup kasus tersebut dan tidak melakukan tanggung jawab mereka dalam penyelidikan tersebut. Oleh karena itu kami meminta Departemen Kehakiman untuk meminta jaksa membuka kembali penyelidikan, untuk menyatakan kebenaran", demikian isi laporan Control Yuan.

Aktivis pembela nelayan migran di Taiwan, Allison Lee, mengatakan sayangnya penyelidikan dapat berjalan lama.

"Kami akan terus menekan badan legislatif untuk menekan Departemen Kehakiman. Kasus ini cukup besar, media asing banyak yang sudah menaruh perhatian. Mereka punya beban untuk menyelesaikan penyelidikannya", kata Allison.

Allison menambahkan laporan Control Yuan tersebut bukan hanya menggambarkan bagaimana departemen pemerintahan terkait menghiraukan HAM dan martabat pekerja migran di Taiwan, namun juga mengungkapkan kejahatan yang dilakukan kepada nelayan yang dipekerjakan dari luar negeri dan pelanggaran hukum pelaku usaha.

Supriyanto adalah satu dari sekian banyak nelayan yang mendaftar di agen penyalur agar dapat bekerja di kapal ikan Taiwan.

Saat BBC Indonesia menyambangi beberapa agen penyalur di Pemalang, Jawa Tengah, kantor-kantor agen tersebut selalu penuh dengan calon pekerja.

Mereka berpendapat lebih baik menempuh risiko di negeri asing ketimbang tidak melakukan apa-apa di kampung halaman.

Allison Lee menuturkan salah satu akar permasalahan kekerasan terhadap nelayan migran di kapal ikan Taiwan adalah kontrak dari agen penyalur.

"Hal ini semakin menegaskan permohonan kami agar semua nelayan lokal dan asing dipekerjakan sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan untuk mempekerjakan nelayan asing dilakukan langsung antar pemerintah sehingga pihak-pihak yang mengambil kesempatan dari metode eskploitasi saat ini dapat dihentikan sehingga nelayan dapat terhindar dari nasib tragis seperti ini."

"Namun pemerintah Indonesia tidak menandatangani surat kesepakatan (MoU) atau perjanjian apapun dengan pemerintah Taiwan.

"Jika mereka tidak setuju untuk mempekerjakan langsung nelayan dari Indonesia ke Taiwan, hal itu (mempekerjakan langsung) tidak akan terwujud meski Taiwan memiliki peraturan tersebut". terang Allison.

sumber : bbc

0 comments

Post a Comment