Home /
Berita Ponorogo /
SDN 02 Slahung Ponorogo Tutup Karena Kalah Bersaing Dengan Sekolahan Kota, Benarkah?
Monday, November 7, 2016
SDN 02 Slahung Ponorogo Tutup Karena Kalah Bersaing Dengan Sekolahan Kota, Benarkah?
Ponorogo - Dinas Pendidikan (Dindik) Ponorogo seolah tidak bisa berbuat banyak tentang penambahan sekolah swasta, mudahnya membuat ijin pendirian sekolah mungkin adalah salah satu penyebabnya. Setidaknya lima tahun belakangan, muncul sekolah swasta dengan berbagai fasilitas.
Bukan hanya itu, Dindik juga tidak memperhatikan sekolah yang lebih dulu berdiri. Bisa dibilang sekolah jenjang SD di Ponorogo melebihi batas yang sewajarnya.
Sekolahan swasta di Ponorogo ibarat anak emas, awal mula berdiri hanya satu jenjang saja. Lama kelamaan berkembang menjadi dua atau jenjang. Bisa dibilang hampir mirip seperti "sekolah tempat usaha".
Akibatnya, sekolah-sekolah di daerah pinggiran kalang kabut. Tahun ini, sudah ada tiga sekolah yang terpaksa gulung tikar alias tutup, karena kekurangan siswa. Di tiga sekolah, bahkan kondisi tersebut sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Puncaknya, tahun ini tidak ada seorang pun calon siswa yang mendaftar di tiga sekolah itu. Siswa yang masih aktif diperbolehkan pindah ke sekolah lain. Sementara para guru dialokasikan ke sekolah lain yang masih membutuhkan tenaga pendidik.
Wartawan beritajatim.com mencoba mengok ke salah satu sekolah yang tutup, SDN 2 Slahung. Sekolah ini terletak hampir perbatasan dengan Pacitan. Mirisnya, mulai tahun ajaran 2016/2017 kemarin tutup. Maklum, sekolah itu sudah enam tahun terakhir sepi pendaftar.
Puncaknya di akhir tahun ajaran 2015/2016, sekolah benar-benar tidak memiliki siswa lagi selepas kelulusan delapan siswanya yang duduk di bangku kelas VI. Kini, nasib bangunan SDN 2 Slahung dimanfaatkan oleh sekolah tetangga satu halaman, SDN 1 Slahung.
Kepala SDN 1 Slahung, Katoto menuturkan, penutupan SDN 2 Slahung dilakukan usai pihak SDN 2 Slahung mengusulkan penutupan sekolahnya kepada Dindik Ponorogo akhir 2015 lalu. Demi menyelamatkan sekolah tersebut, sempat terpikir upaya regrouping dengan SDN 1 Slahung, tapi gagal.
Pasalnya tidak ada siswa yang akan digabung ke SDN 1 Slahung. Pun, karena di akhir tahun ajaran 2015/2016 SDN 2 Slahung tidak memiliki satu pun siswa karena lulus, maka pihak sekolah pun merasa lebih baik mengajukan penutupan.
"Pertimbangannya banyak. Kepsek kala itu dan guru memilih tutup. Karena jika regrouping, juga tidak ada siswa yang mau digabungkan," terangnya, Senin (7/11/2016).
Katoto mengatakan, secara resmi penutupan SDN 2 Slahung baru Senin (24/10/2016). Sejak mengajukan proposal penutupan, Diknas, UPT Diknas di Slahung, serta pengawas sudah meninjau dan melakukan verifikasi.
Hasilnya, pemanfaatan bangunan bekas SDN 2 Slahung diserahkan kepada SDN 1 Slahung, yang terletak satu pagar dengan sekolah tersebut. Pelimpahan aset meliputi enam ruangan kelas beserta sarana dan prasarana di dalamnya. "Kalau tanah sekolah merupakan aset milik desa," jelasnya.
Menurut Katoto, dahulu jumlah siswa antara SDN 1 Slahung dan SDN 2 Slahung terhitung berimbang. Jumlah siswa sama banyaknya. Pendaftar dari tahun ke tahun juga terus ada. SDN 2 Slahung mulai miskin peminat sejak enam tahun lalu. Terakhir di tahun 2010, ada seorang siswa yang mendaftar di SDN 2 Slahung. Namun pada akhirnya dilimpahkan ke SDN 1 Slahung karena hingga akhir pendaftaran tahun ajaran baru, hanya seorang siswa tersebut yang mendaftar.
Katoto menjelaskan, sebelumnya ada tujuh SD di wilayah Slahung. Lokasi tujuh sekolah tersebar di sejumlah desa di Slahung. Kini, yang tersisa tinggal lima SD. Selain SDN 2 Slahung, sekolah lain yang minim siswa sejak beberapa tahun terakhir yakni SDN 4 Slahung, SDN 7 Slahung, dan SDN 3 Slahung. "Ketiga sekolah tersebut jumlah siswanya rata-rata dari kelas I hingga VI, hanya puluhan siswa saja," ujarnya.
Katoto menilai, berkurangnya pendaftar di SDN 2 Slahung karena sekolah tersebut mengalami penurunan prestasi sejak enam tahun terakhir. Sebelumnya saat jumlah siswanya sama dengan SDN 1 Slahung, prestasi sekolah tersebut juga banyak. Namun lama kelamaan, prestasi yang diperoleh semakin jomplang.
Padahal, letak kedua sekolah paling strategis dibanding sekolah lain di Slahung yang ada di pelosok desa. Selain itu, Katoto juga menilai anak usia sekolah semakin minim di wilayah Slahung.
Dia juga tidak menampik pendaftar di sekolahnya menurun. Satu kelas yang biasa diisi 40 siswa, belakangan hanya diisi rata-rata 35 siswa, dengan jumlah kelas yang sama tiap angkatan, yakni satu kelas. "Animo masyarakat sebenarnya juga bagus. Untuk SD, mayoritas memilih menyekolahkan anak di daerah asal. Baru setelah SMP atau SMA, memilih sekolah di wilayah kota," terangnya. [mit/su/beritajatim]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Paling Dilihat
-
Berita TKI Taiwan Stop Aniaya Kucing Dan Anjing - Bagi TKI Taiwan aturan baru ini harus benar-benar diketahui, salah-salah malah mendapa...
-
Berita TKI - Setiap TKI yang berada di Taiwan wajib pegang ARC atas nama sendiri. Kalau di Indonesia ARC hampir sama dengan KTP. Nah k...
0 comments
Post a Comment